
Keragaman Jenis Wayang Yang Ada Di Indonesia – Lamanya keberadaan wayang di Indonesia dapat dilihat dari ragam model wayang, potongan yang berbeda, serta cara dan bahasa penyajiannya. Dunia wayang berakar pada inti budaya masyarakat. Mungkin itu sebabnya UNESCO melabeli wayang sebagai asli Indonesia.
Keragaman Jenis Wayang Yang Ada Di Indonesia
wayangku.id – Wayang merupakan salah satu dari sekian banyak warisan budaya masa lampau yang ada di Indonesia. Wayang merupakan sebagai salah satu macam karya seni dalam sebuah budaya yang sangat menonjol dari total banyak macam karya budaya yang lainnya. Sebuah Pertunjukan wayang yang meliputi semua suara, drama, musik, pidato, sastra, lukisan, patung dan seni simbolik.
Menyimak sejarah, budaya wayang tampaknya mengalami perkembangan dari masa ke masa. Kemudian terus berkembang hingga digunakan sebagai alat komunikasi sosial yang dapat bermanfaat dalam perkembangan masyarakat pendukungnya. Dunia wayang menunjukkan perubahan fungsinya dari alat pemujaan leluhur, dakwah, menambah ilmu hingga pendidikan moral dan etika serta pemahaman filsafat, dan sebagai alat hiburan murni.
Baca Juga : Perkembangan Wayang dari Masa ke Masa
Menariknya, seni teater wayang ditemukan bertahan selama berabad-abad. Meski saat ini bisa dikatakan banyak bentuk hiburan modern lain yang menggantikan keberadaannya, namun wayang tetap mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali.
Perkembangan informasi
Fenomena ini paling tidak dapat dilihat pada teater wayang yang sering dipentaskan pada acara-acara resmi maupun tidak resmi baik oleh seluruh masyarakat maupun oleh para pejabat pemerintah. Juga selain itu, beberapa hal ini juga dapat tercermin dari sebuah proses dalam pembaharuan sebuah citra profesional dalang sebagai pelaku utama seni pertunjukan yang terus berlangsung.
Padahal, jika berbicara tentang sejarah terbentuknya wayang kulit, setidaknya telah ditemukan empat teori utama. Perbedaan teori atau interpretasi ini tidak hanya disebabkan oleh terbatasnya informasi yang tersedia dari sumber artefak sebelumnya, tetapi juga karena perbedaan disiplin ilmu yang digunakan oleh para ahli untuk mendekati masalah.
Keempat teori atau tafsir tersebut pertama-tama adalah asal muasal wayang di Jawa (Indonesia). Peneliti yang mempercayai hipotesis ini antara lain JLA Brandes, GAJ Hazeu, J Kats, Anker Rentse dll. Kedua, Wayang berasal dari India. Mereka yang sampai pada kesimpulan bahwa teater wayang berasal dari India adalah R. Pichel, Poensen, Goslings dan Rassers.
Ketiga, asal usul wayang adalah patroli antara Jawa dan India. Kesimpulan hipotetis ini dicapai, misalnya oleh J Krom dan WH Rassers. Dan terakhir atau keempat, Wayang berasal dari Tiongkok. Peneliti yang sampai pada kesimpulan ini adalah G. Schlegel.
Tujuan artikel ini bukan untuk mengungkap kebenaran sejarah tentang asal muasal wayang di Indonesia. Terlepas dari fakta bahwa perdebatan teoretis yang bersumber dari ketidakpastian sejarah atau disebut sebagai aspek “kontroversial” merupakan fenomena umum dalam semua kajian ilmu sosial dan humaniora, aspek “kontroversial” tersebut tidak begitu mengurangi pentingnya status wayang dalam masyarakat Indonesia.
Perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan interpretasi dan perdebatan teoritis tentang asal muasal wayang di Indonesia. Karena keragaman wacana atau teori sejarah sangat memperkaya khasanah, apalagi selalu menjadi tantangan bagi akademisi untuk memutakhirkan penelitian tentang sejarah wayang, ketika fakta-fakta baru di bidang sejarah dan budaya muncul.
Hipotesa UNESCO
Namun, ada beberapa hal yang menarik untuk dicatat di sini. Sejak 7 November 2003, UNESCO mengakui teater wayang kulit sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity. Meskipun ringkasan ini tidak menyajikan argumen teoretis dan historis berdasarkan karakter tertentu, UNESCO dengan jelas mengakui bahwa seni bercerita kuno ini berasal dari Indonesia.
Menurut UNESCO, era seni pertunjukan ini konon berkembang lebih dari sepuluh abad di keraton Jawa dan Bali dan kini telah menyebar ke pulau-pulau lain seperti Lombok, Madura, Sumatra, dan Kalimantan. Menilik angka “sepuluh abad” sebagai pilihan UNESCO dan mempertimbangkan sejarah perkembangan tradisi wayang, mudah ditebak bahwa anggapan ini didasarkan pada tulisan Balitung dari abad ke-10 (903 M). Pada prasasti ini terdapat tulisan “Si Galigi Mawayang Untuk Hyang Macarita Bimma Ya Kumara”. Kalimat ini berarti “Galigi melakukan pertunjukan hyang yang merekam kisah Bhimma muda.”
Referensi prasasti Balitung ini didukung oleh sumber-sumber sastra belakangan. Indiria Maharsi (2018) dalam karyanya mengacu pada buku Wayang Beber Centini. Buku ini ditulis pada awal abad ketiga. Menurut para Mahar, kitab ini mendokumentasikan wayang yang diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Kedir. Namun, Raja Jayabaya mencoba membuat gambar arwah leluhurnya dan melukisnya di atas daun lontar.
Menilik klaim UNESCO bahwa wayang berasal sebagai tradisi narasi kuno di Indonesia, bisa jadi penalaran UNESCO bukanlah fakta dan kepastian sejarah, melainkan berdasarkan keragaman manifestasi dari fenomena tersebut. seni pertunjukan tradisional di Indonesia. Karena keragaman bentuk wayang itu sendiri tidak hanya mencerminkan proses perkembangannya yang panjang di Indonesia hingga saat ini, tetapi sekaligus menunjukkan pentingnya makna yang mendalam di benak masyarakat, khususnya masyarakat Jawa.
Ya, panjang keberadaan wayang di Indonesia sangat tercermin dari keragaman jenis atau model wayang, cerita atau lakon yang berbeda, serta cara pementasan dan bahasa. Adanya manifestasi seni wayang yang begitu banyak ini jelas menunjukkan bahwa dunia wayang memang mengakar dalam budaya masyarakatnya, dan mungkin inilah yang menjadi dasar kesimpulan UNESCO bahwa wayang berasal dari Indonesia.
Ragam Wayang di Nusantara
Mengutip Wayang, Budaya Indonesia (1988) dan Pancasila karya Pandam Guritno, tercatat puluhan model atau jenis wayang ada di Indonesia, terutama di Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan, dan Sumatera. Guritno merujuk Prof. Seorang Dr. L. Serrurier, direktur Museum Etnografi di Leiden, yang melakukan kajian tentang jenis-jenis wayang Jawa pada akhir abad ke-19. Hasil penelitiannya dipublikasikan pada tahun 1896 seperti De Wajang Poerwa.
Menurut Serrurier, jenis-jenis wayang yang dikenal di Jawa pada masa itu: yaitu Wayang beber, Wayang kalithik (klithik), Wayang jemblung, Wayang gedog, Wayang golek, Wayang karucil (salib), Wayang pegon, Wayang purwa, Wayang puwara, Wayang sasak, Wayang lilingong, Wayang langendria, Wayang lumping, Wayang mezo, Wayang Topeng dan Wayang Wong atau Wayang Orang.
Dari daftar nama pewayangan di atas, Juga Guritno menambahkan total beberapa jenis atau juga sebuah model wayang lainnya, seperti wayang parwa, dan wayang ramayana, wayang gambuh di Bali; Wayang Sasak di Lombok; Wayang Banjar di Kalimantan; Wayang Palembang di Sumatera; juga boneka jemblung berbaju renang; sebagai pengecualian, wayang kancil, wayang pancasila atau wayang obor tidak dapat disebutkan; pertunjukan wayang; dll.
Jenis atau jenis wayang dapat dibedakan menjadi lima kelompok berdasarkan pelaku utamanya yaitu pertama wayang kulit, pemain di atas panggung adalah wayang dua dimensi yang terbuat dari kulit atau tulang. Kedua, wayang golek, pemain yang tampil di atas panggung adalah wayang kayu tiga dimensi. Ketiga, Wayang Wong atau orang yang menjadi pemain di atas pentas adalah manusia. Keempat, dalam wayang beber, penampil hanya disuguhkan selembar kertas lebar yang digulung dan dibentangkan (dibuka) selama pementasan. Kelima atau yang juga terakhir, yaitu wayang klithik, Para pemain yang berada di atas panggung adalah sebuah boneka yang terbuat dari beberapa macam kayu pipih.
Wayang kulit meliputi Wayang gedog dan juga ada Wayang purwa di Jawa; Boneka Parwa di Bali; Wayang Sasak di Lombok; dan Wayang Banjar di Kalimantan; dan Wayang Palembang didaerah Palembang. Termasuk juga wayang golek adalah merupakan sebuah wayang golek dari daerah Sunda dengan cerita rakyat Ramayana dan juga Mahabarata; Juga termasuk teater boneka Menak Jawa yang menceritakan kisah kepahlawanan Islam; termasuk boneka Cepak Cirebon dengan cerita dari Babad Cirebon dan penyebaran Islam di Jawa Barat.
Sedangkan Wayang Wong atau Wayang Orang biasanya menampilkan lakon Ramayana dan Mahabharata. Namun, wayang langendria yang juga menggunakan manusia sebagai pemerannya biasanya menampilkan lakon-lakon sejarah Majapahit, seperti kisah Damarwulan dan lawannya Menakjingga.
Prinsip pengelompokan kategori-kategori wayang tersebut dengan jelas menunjukkan bagaimana dunia wayang telah mencapai tahap budaya yang sangat maju dalam kondisi sejarah masyarakat. Hal ini mengingatkan orang pada penamaan model Keris (Dhapur), di mana jika ada unsur yang berbeda sedikit saja, akan berbeda nama dan cara pengelompokannya berbeda. Dengan demikian, daftar jenis wayang dapat diidentifikasi berdasarkan tiga kriteria. Yakni pelaku, sumber cerita dan bahasa.
Dalam tulisannya “Keanekaragaman Kreasi Kerajinan Wayang Kulit”, Agus Ahmadi, dosen Institut Seni Indonesia Surakarta yang melanjutkan penelitian Guritno, menjelaskan sedikitnya ada 55 wayang yang sebagian besar terbuat dari kulit perkamen. Dari seluruh jenis wayang, lanjut Agus Wayang, wayang kulit purwa merupakan wayang yang paling terkenal dan berkembang di Indonesia. Wayang jenis ini sering disebut wayang atau wayang kulit dalam percakapan sehari-hari. Karena saking populernya, ketika seseorang menyebut kata wayang, orang menganggap itu berarti selain Wayang Kulit Purwa.